Skip to main content

resensi orang islam jawa pesisiran



ORANG ISLAM JAWA PESISIRAN

I.              PENDAHULUAN
Agama dan masyarakat adalah dua istilah yang dalam satu sisi berdiri sendiri-sendiri. Karena itu, masing-masing dapat dibicarakan atau dikaji tanpa harus dikaitkan satu dengan yang lainnya. Tetapi dalam sisi yang lain, terutama ketika ditempatkan dalam perspektif kebudayaan, agama tidak akan terlepas dari masyarakat yaitu para pemeluk agama yang bersangkutan. Dalam kebudayaan itu, agama dapat mengambil bentuk sebagai system pengetahuan dan sistem keyakinan. Agama menjadi fungsional untuk acuan tindakan yaitu sebagai pemenuhan kebutuhan adab masyarakat manusia.
Masyarakat Bangsri Jepara adalah masyarakat yang tinggal dalam  lingkungan wilayah kebudayaan jawa pesisir utara, yang dibedakan dari masyarakat jawa pedalaman yang tinggal di wilayah kebudayaan jawa pedalaman, seperti masyarakat jawa zaman kerajaan Mataram dikenal sebagai masyarakat yang tinggal di daerah pusat yaitu di Kutanegara, Negarigung, atau daerah sekitarnya yaitu Mancanegari. Oleh karena itu, maka mereka disebut orang jawa pesisir utara.
Lebih lanjut, dalam makalah ini merupakan resensi dari sebuah buku berjudul “Orang Islam Jawa Pesisiran” yang mana setting kajiannya difokuskan di daerah Bangsri Jepara.

II.              RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan yang telah dipaparkan, maka kami merumuskan masalah sebagai berikut :
A.    Bagaimana keadaaan jawa pesisir?
B.     Bagaimana ciri-ciri orang jawa pesisir?
C.     Bagaimana agama dan kepercayaan penduduknya?
D.    Bagaimana ciri-ciri islam jawa pesisir?
E.     Bagaimana ritual keagamaan yang ada pada daerah jawa pesisir?

III.              PEMBAHASAN
A.    Jawa Pesisir
Daerah jawa dilihat dari tata ruangnya terbagi ke dalam tiga tipologi yaitu daerah pegunungan, daerah pedalaman, dan daerah pantai atau pesisir. Adanya perbedaan kondisi fisik menggambarkan adanya perbedaan corak masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian, antara ruang fisik dan ruang sosial, keduanya saling terkait satu sama lain.
Masyarakat yang tinggal di sepanjang daerah pantai, khususnya pantai utara jawa, dikenal dengan sebutan masyarakat pesisir atau orang pesisir. Untuk kawasan pantai utara jawa, mereka yang disebut orang pesisir adalah masyarakat jawa yang tinggal di sepanjang Brebes, Tegal, Wiradesa, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara, Kudus, Pati, Juwana, Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Cengkal Sewu. Kebudayaan yang hidup di sepanjang daerah tersebut berada dalam satu wilayah kebudayaan pesisir.

B.     Ciri-ciri orang Jawa Pesisir
Ciri-ciri orang pesisir adalah egaliter, terbuka dan lugas. Egaliter karena mereka berkecenderungan melihat diri dan orang lain relatif sejajar. Sifat terbuka dan lugas, dapat dilihat terutama dalam berkomunikasi, yakni mudah akrab, tidak curiga, dan mempunyai kecenderungan dalam berbicara untuk masuk ke inti masalah (straight forward). Bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi sehari adalah bahasa jawa ngoko berdialek, yang salah satu ciri bentuk kata-katanya ialah morfem seperti tah. Misalnya “apa tah, lah opo tah...” dengan nada tinggi-sedang.
Sifat-sifat umum masyarakat pesisir yang terbuka, lugas dan egaliter, ada hubungannya dengan :
a.       Kondisi kawasan tempat tinggal
b.      Posisi daerah-daerah pesisir secara geopolitik yang berjauhan dengan daerah pusat kerajaan jawa (Mataram)
c.       Di dalam sejarahnya, memiliki hubungan yang internsif dengan orang-orang Asia Timur tengah dalam kaitannya dengan hubungan dagang dan penyiaran islam.
Bagi orang jawa pesisir, status social yang dilihat dari pekerjaan, tidaklah penting. Yang lebih penting adalah hasil atau pendapatan (kekayaan). Pengabaian terhadap jenis pekerjaan dalam satu segi, dan penekanan pada hasil di segi lain, dalam kehidupan sehari-hari tercermin pada ungkapan : “Iso sik kalah wong, ojo sik kalah wang” (boleh kalah dalam hal kepangkatan tetapi jangan sampai kalah dalam hal pendapatan).

C.     Agama atau Kepercayaan Penduduk
Hubungan antara umat dengan tokoh-tokoh agama adalah hubungan yang dilandasi oleh dua dimensi, yaitu dimensi keagamaan dan dimensi sosial. Pada dimensi keagamaan, hubungan itu dikukuhkan oleh faham-faham keagamaan yaitu konsep derajat manusia atas dasar ketaqwaaan dan konsep tawassul (mediasi). Dari faham keagamaan seperti itu, maka dalam dimensi sosial, orang-orang suci dipresentasikan kepadsa nabi, wali, sampai kyai. Mereka dinilai lebih dekat dengan Tuhannya dan karena itu mereka lebih didengarkan atau dikabulkan permohonannya. Logika tersebut menjadi alasan bagi umat untuk memposisikan mereka, khususnya para nabi dan para wali, sebagai mutawassul (mediator) dalam berbagai kegiatan atau upacara keagamaan atau bahkan semi keagamaan.
Sistem klasifikasi simbolik yang dipakai untuk menjelaskan tingkat atau bentuk hubungan Tuhan-manusia yang menuntun mereka untuk menciptakan moderasi (penengah) sebagai perantara, sehingga melahirkan klasifikasi tiga (trikotomi) sebagai berikut :









Hubungan perantara
 
                                                                                                             






D.    Ciri-ciri Islam Jawa Pesisir
Pemeluk agama di jawa pesisir beragam, namun islam menjadi agama mayoritas penduduk. Dilihat dari kategori social kegamaan, khususnya penganut agama islam, dapat dibedakan menjadi golongan santri dan golongan nasional suatu istilah yang identik dengan abangan (abangan berarti membangkang). Golongan santri cenderung tinggal di lingkungan (kampung atau desa) santri, dan begitu pula sebaliknya. Kondisi ini menunjukkan bahwa corak kehidupan keagamaan mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungan sosialnya.
1.      Komunitas kaum santri
a.       Komunitas Nahdliyin
b.      Komunitas Syi’i
c.       Komunitas Muhammadiyah

Masing-masing pengikut faham keagamaan itu saling menilai diri dan orang atau pihak lain berdasarkan pandangan yang cenderung etnosentrik, dalam arti membenarkan diri sekaligus menyalahkan pihak lain. Orang NU misalnya, melihat diri nahdliyyin, sebagai orang ahli sunnah waljama’ah, beragama dengan system bermadzhab. Orang Muhammadiyah, memotret diri sebagai pengikut islam yang murni. Sementara orang syi’ah, mwngkategorikan diri sebagai Syi’i yang mengikuti garis keislaman yang benar karena keislamannya dituntun oleh imam itsna atsar (imam dua belas) yang sudah tertulis dalam al-qur’an.
Bersamaan dengan itu pula muncul idiom-idiom untuk melukiskan wujud keberagamaan pihak lain lewat ungkapan yang (relatif) negative. Misalnya, idiom: orang NU itu disebut sebagai wong dlo’ul, beragama hanya karena nut kyai (mengikuti kyai), bertaqlid buta. Orang syi’ah, disebut Syi’I, beragama karena nut habib (mengikuti habib) atau nut wong Arab ning Jawa (mengikuti oran-orang keturunan Arab yang ada di Jawa). Orang Muhammadiyah, disebut wong MD, dalam beragama nggak ono sing dinut, sak karepe dewe (tidak ada yang diikuti, sesukanya sendiri) karena tidak memiliki imam atau madzhab. Sedang oranf Nasional itu dilihat oleh orang lain sebagai orang abangan, orang kejawen, atau orang Islam KTP. Mereka mengaku Islam tetapi durung ngerti agama (belum tahu agama).
Dalam hal ini nampak bahwa para penduduk memang bisa bekerja sama untuk berbagai urusan seperti kegiatan ekonomi, social, bahkan kegiatan politik, kecuali satu hal yang tidak bisa dipertemukan, yaitu terhadap urusan mempertemukan faham keagamaan itu sendiri.

2.      Komunitas Nonsantri (Komunitas nasional)
Menurut pandangan orang-orang santri, mereka yang disebut Wong nasional adalah Wong abangan, yaitu kategori orang yang mengaku Islam tetapi tidak mau menjalankan sholat, tidak menjalankan puasa Ramadhan, dan tidak mempunyai citc-cita naik haji. Sikap terssebut karena mereka tidak faham agama. Ketidak-fahaman terhadap masalah-masalah agama karena mereka tidak belajar agama dan tinggal di luar lingkaran orang-orang beragama. Karena itu mereka disebut sebagai orang Islam KTP, yakni orang yang menganku Islam sebagaimana agama yang tertera di dalam KTP-nya tetapi tidak menjalankan syari’at kewajiban seorang muslim.
Selain ciri tersebut, wong nasional juga umumnya memliki kepercayaan kepada patokan (pedoman) ngelmu kejawen, seperti masalah neptu hari menurut kalender Jawa untuk menentukan kegiatan-kegiatan penting seperti perkawinan, dan membuka suatu kegiatan ekonomi seperti membuka usaha, perdukunan jawa, dan kebenaran cerita-cerita di dalam dunia perkawinan.
Pengetahuan-pengetahuan umum tentang ngelmu Jawa tersebut hanya dimiliki oleh sedikit orang. Orang-orang yang memiliki pengetahuan ngelmu kejawen inilah disebut dengan orang atau wong kejawen. Jadi wong kejawen masuk dalam kategori social wong nasional, tetapi mereka mamiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Kalau ulama’nya orang NU disebut kyai, sedang ulama’nya orang nasional adalah ahli kejawen.

Perbedaan Islam Arab dan Islam Jawa

Islam Jawa (Wong nasional)
Islam Arab (Wong santri)
Panutan utama
Aji Saka, Brawijaya dan Nabi Muhammad
Nabi Muhammad
Prinsip beragama
Laku-baik, eling gustine
Menjalankan syariat
Praktek keagamaan yang penting
Sahadat, sembahyang, Pasa (cara Jawa)
Dongo, jejaluk (bahasa jawa)
Sahadat, Sholat, zakat, puasa Ramadhan, naik haji
Berdoa, berdzikir (bahasa arab)
Pedoman waktu untuk kegiatan penting (keagamaan)
Aboge
Tahun hijriyah (syamsiyah/ qomariyah)
Peringatan sosial
Suronan
Sedekah bumi (Denyang)
Hari-hari besar islam
Khoul (ziarah makam tokoh islam, kecuali Muhammadiyah)

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan lingkungan antara lingkungan (desa) santri dan lingkungan nonsantri, dapat dilihat dari kondisi-kondisi fisik dan nonfisik. Kondisi fisik lingkungan santri seperti banyaknya tempat-tempat ibadah (masjid dan musholla), tempat-tempat pendidikan islam (masjid dan atau pondok pesantren) serta tempat tinggal para tokoh agama (kyai, ustadz dan sebagainya). Dibalik ciri-ciri fisik seprti itu, mengungkapkan adanya ciri-ciri nonfisik seperti aktivitas-aktivitas keagamaan: sholat berjama’ah, pengajian-pengajian keagamaan dan kegiatan keagamaan seperti berzanjen, tahlilan, manaqiban, dan sejenisnya yang dilakukan sekelompok warga. Kondisi demikian tidak ditemukan di lingkungan kaum nasional.
Disamping perbedaan demikian, juga terdapat ciri-ciri khusus lain. Orang nasional mempercayai danyang-desa. Ia berperan atau diperankan sebagai tokoh spiritual, sebagaimana yang nampak dalam pengucapan ijab pada selamatan personal dan komunal seperti upacara sedekah bumi.

E.     Ritual Islam Jawa Pesisir
Agama dalam satu sisi, dan ritual dalam sisi lain, merupakan dua istilah yang menggambarkan kepada isi dan bungkusnya. Atau roh dan jasadnya. Dalam arti kebudayaan, agama adalah pengetahuan dan keyakinan, sedangkan ritual adalah perwujudan dari pengetahuan dan keyakinan yang dipraktekkan secara simbolik dalam kehidupan. Tindakan-tindakan dalam ritual tersebut, hamper selalu menjelaskan adanya keyakinan terhadapa adanya kekuatan-kekuatan ghaib (supranatural) yang ingin dituju, dengan sebuah formula yang khusus yang umumnya terdiri dari serangkaian tindakan khusus dan ucapan-ucapan khusus seperti pembacaaan teks-teks suci, do’a - do’a, atau dzikir-dzikir, yang dilakukan oleh seorang diri atau secara bersama-sama.
1.      Ritual kaum santri
Di kalangan kaum santri, agama dilihat dalam fungsinya sebagai pedoman, yang berisi pengetahuan tentang nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, yang dianggap benar dan baik sehingga manusi bias menjalankan kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaannya sendiri.
Pengetahuan keagamaan orang-orang santri di Bangsri mengenai prinsip-prinsip dasar akidah dan syariah diantara mereka yang berada dalam komunitas NU, Muhammadiyah, dan Syi’ah diformulasikan sebagai berikut :

Komunitas NU dan Muhammadiyah
Komunitas Syi’ah
Iman (kepercayaan)
(Arkanul Iman)
1.      Allah
2.      Para malaikat
3.      Para Nabi
4.      Pada Kitabullah
5.      Pada hari akhir
6.      Pada Qodo’ dan Qodar
(Akidah Syi’ah)
1.      Tauhid
2.      Al-adl
3.      An-Nubuwwah
4.      Al-Imamah
5.      Hari Akhir

Syari’ah
(Arkanul Islam)
1.      Syahadat
2.      Sholat
3.      Zakat
4.      Puasa Ramadhan
5.      Haji
(Furu’)
1.      Sholat
2.      Puasa Ramadhan
3.      Zakat
4.      Khumus
5.      Haji
6.      Jihad
7.      Amar ma’ruf nahi mungkar
8.      Berwilayah kepada nabi dan ahlul bait

Prinsip-prinsip dasar dalam akidah dan syari’ah demikian, dalam terminology orang Muhammadiyah, harus jelas yakni termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits, sementara bagi orang NU dan syi’ah, muatan dalam Al-Qur’an dan Hadits haruslah diuraikan lebih lanjut sesuai dengan konteksnya. Oleh karena itu, di dalam beragama orang-orang NU berpegang kepada produk pemikiran madzhab, sementara orang-oranng Syi’ah di Bangsri berpegang kepada pemikiran Imam dua belas.
a.       Rituan Keagamaan
1)      Sholat
Sholat atau sembahyang dalam konteks keagamaan adalah suatu tindakan berulang berdasarkan formula tertentu berupa peryataan maksud dalam batin (niat) diikuti dengan serangkaian gerakan tubuh dan ucapan yang sepenuhnya dengan menggunakan bahasa Arab.
Di kalangan kaum santri Bangsri, terdapat pemahaman umum mengenai sholat, khususnya sholat maktubah sebagai suatu ritual keagamaan yang manandai tentang diri dan orang lain, menyangkut kualitas keagamaan, kecenderungan-kecenderungan tindakan, dan kategorisaasi social.
Masjid dan mushola yang jumlahnya banyak yang ada di setiap desa menjelaskan bukan saja bagaimana kaum santri itu mengutamakan ibadah formal, tetapi bersamaan dengan itu pula sarana-sarana ibadah tersebut berfungsi untuk menyebarluaskan faham keislaman bagi dan untuk warganya.
2)      Puasa Ramadhan
Dalam menjalankan ibadah puasa, dikarenakan adanya hitungan waktu edar menurut ilmu falakiyah yang menjadikan variasi NU, MD, dan Syi’ah tekadang berbeda dalam mengawali dan mengakhiri, perbedaan itu terkadang ditanggapi oleh masing-masing komunitas keagamaan dengan sikap saling menyalahkan.
Suasana desa-desa santri di Bangsri di siang hari Nampak sepi, karena banyak orang memilih istirahat. Dan mulai sore sampai malam hari Nampak ramai disibukkan dengan pengajian, kajian kitab kuning,  mempersiapkan buka puasa, dan mengerjakan sholat tarawih. Dilanjutkan dengan tadarus pada malam hari.
Selain kebiasaan di atas, ada kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berlatar belakang pensantren menindaklanjuti kegiatan Ramadhan dengan puasa sunnah bakda syawal selama enam hari  dan Bodo Kupat dengan berkunjung kepada rumah guru dan kyai, atau mengunjungi makan kyai dan gurunya yang sudang meninggal.



3)      Haji
Pada skala kabupaten (Jepara) jumlah orang yang naik haji sangat besar melebihi jumlah orang yangn aik haji dari kabupaten-kabupaten lain di Indonesia. Pola naik haji orang Bangsri cenderung ditunaikan secara berpasangan (suami-istri), dengan alas an sumber dana yang digunakan adalah hasil kerja bersama.
Sebelum beranngkat haji, terdapat pola umum bagi orang yang akan naik haji pertama kali, yaitu berziarah ke kubur oranng tuanya, mengunjungi tetangga, kenalan,  atau saudara untuk tujuan meminta maaf   dan meminta do’a restu serta mengunjungi kyai untuk meminta nasehat.
b.      Ritual Personal dan Komunal
Berbagai macam ritual baik yang berkatagori ritual personal maupun ritual komunal yang selama ini masih dijalankan oleh sebagian warga masyarakat Bangsri, kategori santri adalah sebagai berikut :
personal
Daur hidup
kawin
Melamar
Menikahkan
Hamil
Munari (7 bulan)
lahir
Brokohan
Memberi nama
Khitan
nyewu
Surtanah
Nelung dina
Mitong dina
Matang puluh
Nyatus
Mendak pisan
Mendak pindo
Nyewu
Peristiwa khusus
Pulang - pergi
Merantau (mboy gawe)
sakit
Parah
Sembuh
Panenan
Buka usaha
Membangun rumah
Pindah rumah
komunal
Hari besar
Islam
Muharram
Rajab
Syawal
Besar
Nasional
17 agustus
Ulang tahun
Orsos keagamaan
NU
Muhammadiyah
parpol
PPP
PKB
PAN

6.      Ritual Kaum Nasional
berbagai peristiwa penting yang terkait atas diri pribadi seperti kebutuhan untuk berhasil di dalam bekerja, mendirikan rumah, mencari jodoh, atau peristiwa penting yang menjadi hajat kebutuhan orang banyak seperti terciptanya kerukunan para warga dan harapan terjauhkan dari bahaya seperti penyakit dan kelaparan, oleh kaum nasional diwujudkan dengan tindakan-tindakan simbolik ke dalam upacara-upacara khhusus, yaitu dengan melakukan relasi simbolik kepada tokoh spiritual yaitu (roh) para leluhur dan danyang desa.
Dalam pikiran orang nasional di dalam melakukan ritualnya, maka roh (leluhur) dan danyang desa tersebut bertindak tidak tepersonifikasi sebagai tokoh agama melainkan sebagai tokoh spiritual jawa, sehingga konsep-konsep umum yang berlaku, tujuannya, tindakan yang dijalankan tidaklah sama.
Menghilangkan kepercayaan demikian adalah melahirkan ketidak tenangan. Bahkan menghilangkan sedekah bumi sama artinya dengan menghilangkan tradisi leluhur, dan melupakan danyang desa. Mereka berpandangan “jika dalam menyajikan sesajian dalam upacara sedekah bumi ada yang salah, akan berdampak pada datangnya musibah, apalagi kalau sampai menghilangkan upacaranya itu sendiri”.
Dalam ritual yang dilakukan orang nasional, seperti selamatan rasulan, upacara sedekah bumi atau upacara bersih desa yang dilakukan, ditandai dengan dua unsur inti, yaitu ijab dan kabul. Ijab disampaikan oleh tokoh kejawen karena memang dimaksudkan sebagai mewakili orang jawa. Sedang kabul dalam bentuk do’a berbahasa Arab diucapkan oleh kyai desa atau modin. Dalam pandangan orang nasional Bangsri, keserasian hubungan antara Jawa dan Arab seperti itu, merepresentasikan “kesepakatan kultural” antara Nabi Muhammad dengan Aji Saka, guna terciptanya rasa aman di tanah jawa.

IV.              PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, tentu jauh dari harapan dan kesempurnaan. Manusia makhluk jauh dari sempurnanya hidup, usaha penuh telah terwujud dengan makalah ini. Saran yang konstruktif selalu saya nanti demi kemajuan penulisan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Mudjahirin Thohir, Orang Islam Jawa Pesisiran, (Semarang : Fasindo Press, 2006).

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Matematika adalah......

Matematika (dari bahasa Yunani: μαθηματικά - mathēmatiká ) adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para matematikawan mencari berbagai pola, merumuskan konjektur baru, dan membangun kebenaran melalui metode deduksi yang ketat diturunkan dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi yang bersesuaian. Terjadi perdebatan tentang apakah objek-objek matematika seperti bilangan dan titik sudah ada di semesta, jadi ditemukan, atau ciptaan manusia. Seorang matematikawan Benjamin Peirce menyebut matematika sebagai "ilmu yang menggambarkan simpulan-simpulan yang penting". Namun, walau matematika pada kenyataannya sangat bermanfaat bagi kehidupan, perkembangan sains dan teknologi, sampai upaya melestarikan alam, matematika hidup di alam gagasan, bukan di realita atau kenyataan.  Dengan tepat, Albert Einstein menyatakan bahwa "sejauh hukum-hukum matematika merujuk kepada kenyataan, mereka tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada ken

Apa Mungkin???

Sungguh dusta orang yang mengaku mencintai dua orang dalam ilmu akidah kedustaan seperti dusta pengikut faham many. tiada tempat di hati untuk dua kekasih ia tidak akan dapat menduakan masalah sebagaimana akal adalah satu ia tak temukan Pencipta kecuali satu, Zat Yang Maha Pengasih Demikian pula hati satu, Tak dapat mencintai selain kepada yang satu Satu orang yang berjauhan, lama tak bertemu Agama juga satu, agama yang lurus Kafirlah orang yang mengatakan ia memiliki agama dua